Profil Desa Tlogo, Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo

Desa Tlogo terletak pada ketinggian 1,227 m diatas pemukaan laut, berlokasi di Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo. Terdiri dari 2 (dua) dusun yaitu dusun Tlogo dan Dusun Tempuran,  terbagi dalam 16 RT dan 7 RW dengan jarak dari desa ke ibukota kabupaten sejauh 13 km. Lokasinya yang tidak jauh dari pusat kota Kabupaten Wonosobo menjadi peluang bagi Desa Tlogo untuk mengembangkan diri sebagai desa wisata. Berdasarkan data dari BPS Kabupaten Wonosobo, secara administratif Desa Tlogo memiliki setengah dari luas Telaga Menjer, salah satu sumber pembangkit listrik dan obyek wisata andalan di Kabupaten Wonosobo. Telaga Menjer menempati luasan 8,6% dari luas wilayah desa yang sebesar 404,821 Ha. Sementara, dominan lahan di desa sebesar 47% dimanfaaatkan untuk kawasan pertanian kering (tegalan).

Mayoritas penduduk Desa Tlogo bekerja pada sektor pertanian, perkebunan, perikanan maupun peternakan. Keempat sektor tersebut memiliki produk unggulan masing-masing. Pada sektor pertanian, komoditas yang diunggulkan adalah labu siam. Sementara, pada sektor peternakan Desa Tlogo juga memiliki dombos (domba asli wonosobo), yang menjadi komoditas unggulan bagi Kabupaten Wonosobo. Pada sektor perikanan komoditas unggulannya adalah ikan nyoho, kemudian diikuti komoditas kopi dan teh di sektor perkebunan.

Selain memanfaatkan sumber daya alam produktif, pemuda-pemudi Desa Tlogo juga kreatif dalam mengelola limbah rumah tangga yang ada di Desa Tlogo. Limbah rumah tangga berupa kulit telur dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan lukisan kulit telur. Sementara sumberdaya alam lokal seperti bambu, biji jenitri dan pohon produk hutan rakyat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan kerajinan taplak meja, aksesoris, maupun topeng dan kuda lumping.

 

Lukisan dari kulit telur
Lukisan dari kulit telur

 

Desa Tlogo memiliki objek wisata alam yang berpotensial untuk dikembangkan sebagai salah satu destinasi wisata alternatif. Saat ini terdapat dua objek wisata utama yang telah dikelola oleh Pokdarwis Desa Tlogo, yakni Puncak Seroja dan Alam Seroja. Meskipun baru dibuka pada bulan September 2016, rata-rata jumlah wisatawan dikedua lokasi tersebut mencapai 2.300 kunjungan per bulannya. Namun saat ini akses untuk mencapai kedua lokasi wisata tersebut masih buruk, sehingga cukup menyulitkan wisatawan.

Desa Mergolangu, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Wonosobo

Desa Mergolangu merupakan desa yang berlokasi di Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Wonosobo. Sisi utara Desa Mergolangu berbatasan langsung dengan Desa Depok dan Kecamatan Kaliwiro, sisi selatan adalah Kabupaten Purworejo, sisi barat adalah Desa Selomerto dan Kecamatan Kaliwiro, sementara di sisi timur ada Desa Dempel dan Kecamatan Kalibawang. Desa Mergolangu terbagi menjadi Dusun Mergolangu, Dusun Prigi, dan Dusun Wonosari. Untuk mencapai Desa Mergolangu, perlu menempuh jarak sejauh 38 km dari pusat kota Wonosobo menggunakan jalur darat. Sementara itu, akses masuk ke Desa Mergolangu mengalami kerusakan yang cukup parah sejak tahun 2010. Meski begitu, transportasi umum telah mengakses Desa Mergolangu, yang beroperasi dua kali seminggu.

Kondisi akses masuk Desa Mergolangu
Kondisi akses masuk Desa Mergolangu

 

Sebesar 75% lahan di Desa Mergolangu didominasi oleh tegalan kemudian diikuti oleh hutan sebesar 19%, dan permukiman sebesar 8,6%.  Dari total 2.224 jiwa, sebagian besar penduduk bermatapencaharian sebagai petani di perkebunan pohon aren, singkong, jahe, cabai, labu siam, dan pisang. Hasil-hasil perkebunan ini mampu diolah menjadi kuliner, misalnya singkong menjadi mie gelan, opak, leye, cimplung, dan tepung singkong.  Komoditas utama di Desa Mergolangu adalah gula aren dan jahe gajah. Dalam pemasaran gula aren, masyarakat masih menggunakan jasa tengkulak sebagai perantara dengan konsumen. Gula aren murni yang dijual sebesar Rp 15.000,00 / kg kepada tengkulak, sementara masyarakat sebagai produsen dapat menjualnya secara langsung dengan harga Rp 20.000,00/kg. Sementara komoditas jahe gajah sudah mampu diekspor sampai ke Banglades. Meski begitu, dengan melihat sulitnya akses masuk desa dan potensi sumber daya alamnya, Desa Mergolangu belum memiliki pusat perekonomian untuk skala desa.

 

Komoditas unggulan Desa Mergolangu
Komoditas unggulan Desa Mergolangu

 

Sebagian besar lahan hutan di Desa Mergolangu merupakan kepemilikan Perhutani. Hutan di Desa Mergolangu difungsikan sebagai hutan produktif untuk penyaringan getah pohon pinus, yang kemudian diolah menjadi thinner dan lem, serta menjadi kawasan wisata Gunung Lanang. Desa Mergolangu telah membentuk Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) sebagai penanggung jawab pemanfaatan hutan, termasuk untuk kawasan wisata. Kawasan isata Gunung Lanang terdiri dari Bukit Sarangan, Bukit Memean, Gunung Putri, Gunung Bolong, Bukit Ponjen, Curug Kali Colat, Maqom Kuno Kiai Tawengan, dan Goa Kelelawar. Daya tarik di kawasan Gunung Lanang adalah panorama alamnya yang berupa barisan perbukitan dan tebing-tebing. Tahap pengembangan area wisata Gunung Lanang responsif terhadap keramaian pengunjung, sehingga terbilang cukup pesat, dengan penyediaan fasilitas dan utilitas swadaya masyarakat desa.

Kawasan Wisata Gunung Lanang dapat dikategorisasikan sebagai wisata minat khusus yang cukup ekstrim. Penyediaan prasarana dan sarana pendukung di kawasan wisata masih minim dan sederhana, seperti jalan, toilet, penunjuk arah, pegangan tangga, persampahan, dan penataan warung. Hasil-hasil komoditas unggulan desa pun belum dioptimalkan untuk dipasarkan di kawasan wisata. Meski begitu, dalam kurun 3 bulan sejak awal dibuka, kawasan wisata ini telah mendapatkan kunjungan sebanyak 100 orang setiap harinya.

Potensi wisata alam di dalam Kawasan Wisata Gunung Lanang
Potensi wisata alam di dalam Kawasan Wisata Gunung Lanang

 

Kondisi akses masuk Kawasan Wisata Gunung Lanang1
Kondisi akses masuk Kawasan Wisata Gunung Lanang

Profil Desa Kumejing, Kecamatan Wadaslintang, Kabupaten Wonosobo

Desa Kumejing memiliki luas wilayah sebesar 107,97 ha, dan berbatasan dengan Desa Lancar di sisi Utara, Waduk Wadaslintang di sisi timur, serta Kabupaten Kebumen di sisi selatan dan barat. Secara umum, permukiman penduduk berlokasi di lereng bukit yang berkontur miring/landai. Desa Kumejing terdiri dari 4 dusun, yaitu Dusun Kedungbulu, Dusun Kiringan, Dusun Brondong, dan Dusun Rejosari. Penggunaan lahan di Desa Kumejing antara lain sebagai sawah, hutan negara, waduk, penghijauan, tegalan, dan permukiman. Desa Kumejing memiliki jumlah penduduk sebanyak 3013 jiwa, dengan jumlah Kepala Keluarga sebanyak 938 KK, yang tersebar di 4 dusun dan 18 RT.

 

Akses menuju ke Desa Kumejing tersedia dalam dua alternatif, yaitu melalui jalur darat dan jalur air. Sejak tahun 2016, jalan penghubung Desa Kumejing dengan desa sekitarnya tidak dalam kondisi baik, sehingga orang sering menggunakan alternatif jalur air. Untuk menuju Desa Kumejing menggunakan jalur air, maka harus mengendarai perahu menyeberang Waduk Wadaslintang. Dari kota kecamatan Wadaslintang, perahu bisa diakses dari dermaga Tritis dan Kalibening yang hanya berlaku di musim hujan, sebab saat kemarau air waduk surut dan perahu tidak bisa bersandar. Jika penumpang penuh, ongkos perahu menuju desa dipatok sebesar Rp 7000/orang.

 

Desa Kumejing merupakan desa yang memiliki potensi hasil perkebunan yang cukup beragam, seperti kelapa, pisang, singkong, kopi, rumput gajah untuk pakan ternak. Pohon kelapa banyak ditemukan di area permukiman warga. Sementara untuk hasil hutan kayu albasia, mahoni, kayu jati, getah pinus, karet dan jenitri sebagai bahan untuk pembuatan tasbih dan cukup mahal harganya dengan kualitas ekspor. Untuk perikanan, masyarakat memanfaatkan waduk sebagai karamba untuk memelihara ikan, walaupun sekarang sudah dibatasi untuk pemanfaatannya karena dikhawatirkan akan merusak ekosistem yang ada di Waduk Wadaslintang. Sehingga untuk produksi perikanan dikembangkan dengan kolam-kolam di pekarangan warga. Pada saat musim kemarau, area Waduk Wadaslintang mengalami penurunan muka air tanah. Tanah yang nampak saat surut ini dikenal sebagai tanah surudan, dan dimanfaatkan warga untuk perkebunan kacang tanah, kacang hijau, jagung dan sayuran seperti kangkung.

 

Untuk produksi olahan makanan, Desa Kumejing memiliki produk makanan khas berupa bucu pendem, pepes ikan, sate, kripik singkong, kripik pisang, oyek, klanting. Sedangkan untuk industri yang dihasilkan dari olahan perkebunan antara lain sapu, keset, gelang dan kalung. Adat dan budaya di Desa Kumejing sangat kental dengan keagamaan dan budaya. Budaya yang berkembang di Desa Kumejing antara lain Suluk, Merti Desa, dan Baritan.

 

Potensi wisata yang dimiliki Desa Kumejing cukup banyak untuk dikembangkan untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakatnya. Wisata potensial di Desa Kumejing di antaranya adalah dermaga Kumejing, Bukit Cinta, Area Camping, dan Curug Bandung. Karena masih potensial, beberapa obyek wisata tersebut belum sepenuhnya diakses oleh sarana dan prasarana pendukung, seperti jalan, warung, kamar mandi, dan tempat istirahat.

kumejing1

 

kumejing2

Profil Desa Campursari, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo

Desa Campursari merupakan salah satu desa yang masuk dalam kawasan Dataran Tinggi Dieng, berlokasi di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Desa Campursari memiliki luas sebesar 521 ha, dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Banjarnegara di sisi utara dan baratnya. Sementara di sisi selatan masih berbatasan dengan Desa Kalidesel, Kecamatan Watumalang, dan Desa Kreo, Kecamatan Garung, dan di sisi timur berbatasan dengan Desa Sikunang, Kecamatan Kejajar. Desa Campursari terdiri dari 3 dusun yaitu dusun Pulosari, dusun Tempuran, dan dusun Plemburan. Desa Campursari berada di ketinggian 1.700 mdpl, memiliki 7 bulan hujan dengan suhu rata-rata 150 C. Total luas tanah Desa Campursari adalah 521 Ha. Hampir setengah dari tanah desa sebesar 256 Ha adalah tanah hutan. Pemanfaatan lahan terbesar adalah ladang warga yang berisi sayur mayur khas dataran tinggi. Dengan jumlah penduduk sebanyak 2.656 jiwa, alokasi lahan permukiman warga hanya seluas 10 Ha.

Mayoritas warga Campursari bekerja di sektor pertanian, lalu diikuti oleh sektor jasa, perdagangan, dan peternakan. Sejarah pertanian Desa Campursari bergeser dari yang semula merupakan petani tembakau, berubah menjadi sayuran. Ratusan tahun lalu masyarakat desa merupakan petani tembakau, namun ketika kentang masuk di tahun 1980an, banyak masyarakat mulai bergeser menjadi petani kentang. Alasannya, selain harganya yang lebih tinggi, kestabilan produksinya juga lebih baik. Proses pengolahan tembakau juga terbilang lama, sehingga memperlambat pemasukan masyarakat. Kini, pertanian warga Campursari didominasi oleh kentang, yang notabene berpotensi merusak lansekap alam desa akibat miskonsepsi dalam cara penanaman.

Proporsi jumlah komoditas Desa Campursari
Proporsi jumlah komoditas Desa Campursari

 

 

Warga sedang membakar tembakau
Warga sedang membakar tembakau

 

Desa Campursari memiliki beberapa obyek yang bisa dikembangkan menjadi wisata, yaitu Bukit Kopen, Pemandian Air Panas, Curug Sikrasak, Curug Silampor, Curug Sijleber, Curug Sikuwung, Curug Sigrinjing, dan Gunung Bisma. Mayoritas obyek-obyek wisata di Desa Campursari mengalami kesulitan dalam aksesibilitas. Banyak ruas jalan yang mengalami kerusakan, maupun penggunaan material yang masih alami sehingga menyulitkan untuk dilalui oleh kendaraan. Selain aksesibilitas, prasarana dan sarana pendukung lainnya juga belum mencukupi kebutuhan kepariwisataan di Desa Campursari. Contohnya adalah sistem pengelolaan sampah, drainase, dan sanitasi. Pengelolaan sampah pada permukiman warga juga berpengaruh pada kondisi kebersihan di daerah wisata, salah satunya di situs pemandian air panas. Sampah yang dibuang ke sungai, terbawa sampai ke lokasi permandian dan mengurangi keindahan kawasan wisata. Sanitasi pendukung seperti kamar mandi maupun toilet umum juga belum tersedia di lokasi tersebut.

 

Lokasi wisata di Desa Campursari
Lokasi wisata di Desa Campursari

Memanfaatkan Tanah Surudan Menjadi Atraksi Wisata

Desa Kumejing berlokasi di Kecamatan Wadaslintang, Kabupaten Wonosobo. Lokasinya berbatasan dengan Waduk Wadaslintang, yang merupakan salah satu sumber air bagi Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Kebumen, dan Kabupaten Purworejo. Pada tahun 2016, akses jalan darat menuju Desa Kumejing mengalami kerusakan, sehingga alternatifnya adalah dengan mengendarai perahu menyeberang Waduk Wadaslintang. Dari kota kecamatan Wadaslintang, perahu bisa diakses dari dermaga Tritis dan Kalibening yang hanya berlaku di musim hujan, sebab saat kemarau air waduk surut dan perahu tidak bisa bersandar. Jika penumpang penuh, ongkos perahu menuju desa dipatok sebesar Rp 7000/orang. Sebagai satu-satunya alternatif akses menuju desa yang aman, Waduk Wadaslintang ini menjadi potensial untuk dikembangkan. Dermaga Kumejing bisa berfungsi sebagai gerbang masuk desa.

 

Dermaga Desa Kumejing
Dermaga Desa Kumejing

 

Bagian perairan yang memakan porsi sebesar 11% dari luas keseluruhan administratif desa, dirasa perlu untuk dimaksimalkan potensinya. Sebagai langkah awal untuk mewujudkan desa wisata, Desa Kumejing membangun konstruksi apung yang berfungsi sebagai tempat makan, dikenal sebagai “Omah Apung”. Omah Apung ini merupakan salah satu elemen dari Zona Panggung Surudan, yang direncanakan sebagai kawasan pengembangan potensi tanah surudan di area Waduk Wadaslintang menjadi pusat kegiatan wisata air, penginapan, kuliner, maupun kerajinan desa.

 

Rencana Zona Panggung Surudan
Rencana Zona Panggung Surudan

 

Panggung Surudan berangkat dari kondisi waduk yang mengalami surut di musim kemarau setiap tahunnya. Area daratan yang tampak saat waduk mengalami surut ini disebut sebagai tanah surudan. Biasanya, warga memanfaatkan tanah surudan sebagai media berkebun, seperti kacang tanah, kacang hijau, jagung, dan sayuran. Dengan adanya pembangunan Omah Apung, terbukalah mata pencaharian baru berupa kawasan wisata yang bisa beroperasi setiap saat. Area Panggung Surudan merupakan gabungan Omah Apung, Toko Apung, Panggung Pentas Budaya, dan Gardu Pandang, sehingga mampu memfasilitasi kebutuhan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat.

 

Implementasi Fisik Perencanaan Omah Apung di Desa Kumejing
Implementasi Fisik Perencanaan Omah Apung di Desa Kumejing

Desa Igirmranak Mulai Mewujudkan Sistem Permakultur Skala Desa

Desa Igirmranak, berlokasi di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, hanya berlokasi 12 km dari kawasan wisata Dieng. Desa Igirmranak dengan total luas 109,86 ha memiliki 1 dusun, yang dihuni oleh 748 jiwa di tahun 2016. Luas lahan di Desa Igirmranak didominasi oleh lahan pekarangan seluas 42,75 Ha, dan 51,6% penduduknya bermata pencaharian sebagai petani.

Tanah di Desa Igirmranak berjenis andosol. Karakteristik tanah dengan kesuburan tinggi berpotensi untuk menjadi media penanaman hasil pertanian, metode penanaman dan budidaya yang sesuai dengan kondisi tanah dan persentase kelerengan dapat mengoptimalkan komoditas desa dan mengurangi potensi longsor. Dengan kondisi lahan dan kependudukan berikut, Desa Igirmranak mampu menjadi produktif di bidang peternakan dan pertanian.

 

Angka Kepemilikan Peternakan dan Tingkat Produktivitas Pertanian Desa Igirmranak
Angka Kepemilikan Peternakan dan Tingkat Produktivitas Pertanian Desa Igirmranak

 

Desa Igirmranak mulai mengembangkan desanya melalui sistem permakultur, yaitu sistem pertanian dan perkebunan yang menggunakan ekosistem di sekelilingnya untuk menciptakan sistem yang swadaya dan berkelanjutan. Melalui lahan pekarangan serta peternakannya, Desa Igirmranak mencoba untuk memaksimalkan potensi ini sebagai modal awal pengembangan desa. Sistem permakultur ini diterapkan di lahan pekarangan dan peternakan yang diperkenalkan sebagai Zona Kahuripan, berlokasi di tengah desa dan dekat dengan permukiman warga. Zona Kahuripan ini terbagi menjadi dua sisi, yaitu sisi utara untuk praktik pengolahan kompos dan kandang komunal, sementara sisi selatan sebagai area untuk kebun permakultur, kebun praktik, rumah produksi, dan warung makan.

 

Arahan Tata Situs Sisi Selatan Zona Kahuripan
Arahan Tata Situs Sisi Selatan Zona Kahuripan

 

Arahan Desain Warung Permakultur
Arahan Desain Warung Permakultur

 

Progress Pembangunan Warung Permakultur
Progress Pembangunan Warung Permakultur

Ajak Masyarakat Untuk Preservasi Nilai Budaya ala Desa Shirakawa

Desa Shirakawa, terletak di Propinsi Gifu daerah Jepang Tengah, masih memiliki rumah-rumah tradisional yang mampu bertahan dalam empat musim dan cuaca ekstrim. Mayoritas penduduk bermata pencaharian sebagai petani, dan mereka memahami bahwa nilai-nilai tradisional mudah digerus oleh perkembangan jaman, begitu juga bisa terjadi di rumah warisan nenek moyang yang mereka miliki. Masyarakat berkolaborasi dengan pemerintah Provinsi Gifu, Jepang, mewujudkan langkah preservasi rumah tradisional tersebut. Projek ini berawal dari kepedulian masyarakat mengenai apa yang sudah dimiliki oleh masyarakat sejak dulu kala dan apa yang akan dicapai atau diinginkan mereka di masa yang akan datang.

 

Desa Shirakawa dalam 2 musim; musim panas dan musim dingin
Desa Shirakawa dalam 2 musim; musim panas dan musim dingin

 

Dalam rangka mengawasi proses preservasi, Pemerintah memfasilitasi organisasi masyarakat yang telah dibentuk sejak 42 tahun yang lalu dengan beranggotakan penduduk setempat. Organisasi ini bertugas menyusun panduan yang meliputi gaya arsitektur rumah tradisional setempat (Gasshou style), cara hidup masyarakat, ladang, hutan dan pegunungan (mountains). Masyarakat beranggapan bahwa identitas akan hilang apabila tidak dilakukan preservasi sebaik-baiknya dan berkesinambungan.

Semua kegiatan yang diselenggarakan/dilakukan oleh masyarakat di area tersebut akan terikat dengan 4 prinsip, yaitu:

  • No sale, no rent, no demolition (dilarang menjual, dilarang menyewakan, dilarang menghancurkan)
  • Melindungi alam
  • Melestarikan rumah Gasshou
  • Melestarikan adat budaya (festival tradisional, tari, makanan khas, dll)

 

Tatanan Ruang dan Infrastruktur Desa yang Masih Terjaga
Tatanan Ruang dan Infrastruktur Desa yang Masih Terjaga

 

Masyarakat Desa Shirakawa bersepakat untuk tidak mengandalkan modal dari luar untuk membangun kehidupan mereka, khususnya dalam hal preservasi dan konservasi. Hal ini bertujuan untuk menjaga sense of belonging atau rasa memiliki dalam masyarakat. Dalam perkembangannya, masyarakat setempat kemudian mengembangkan semacam desa wisata untuk memberdayakan masyarakat setempat, meningkatkan pendapatan sekaligus merawat warisan leluhur mereka (Pramitasari, 2012). Proses ini membutuhkan kesepakatan dan komitmen yang kuat dari masyarakat, sehingga dapat secara kompak terlibat dalam setiap kegiatan preservasi nilai budaya, termasuk proses renovasi salah satu rumah di Desa Shirakawa.

 

Proses Renovasi Rumah Tradisional Secara Swadaya
Proses Renovasi Rumah Tradisional Secara Swadaya